Saat ini, tantangan perpajakan internasional akibat globalisasi makin dirasakan oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Mulai dari kompetisi tarif pajak untuk menarik investasi, digitalisasi ekonomi, hingga adanya skema perencanaan perpajakan agresif menjadi tantangan yang tak terelakkan. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dilakukan kerja sama antarnegara secara terkoordinasi guna menciptakan sistem perpajakan internasional yang adil, efisien, dan berkelanjutan. Base Erosion Profit Shifting (BEPS) adalah salah satu skema yang kerap digunakan oleh perusahaan multinasional atau perusahaan berbentuk grup untuk mengelola beban pajak terutang. Berdasarkan penjelasan pada Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), BEPS mengacu pada strategi perencanaan pajak yang digunakan oleh perusahaan multinasional yang mengeksploitasi kesenjangan dan ketidaksesuaian aturan pajak untuk penghindaran pajak. Perusahaan dapat memindahkan keuntungan di negaranya ke yurisdiksi dengan tarif pajak yang lebih rendah atau mengotak-atik beban dan penghasilan ke perusahaan lain dalam grup yang atas pajak penghasilannya diterapkan tarif pajak yang bersifat final. Hal ini dapat terjadi melalui transaksi-transaksi yang terjadi antarperusahaan yang saling berhubungan tersebut.
Transaksi antarperusahaan yang saling berhubungan, atau dalam perpajakan lebih dikenal dengan transaksi hubungan istimewa, adalah perbuatan yang tidak dilarang. Namun, untuk menjaga kewajaran transaksi dan menghindari hilangnya penerimaan negara dari sisi perpajakan, ketentuan hukum yang tegas tetap diperlukan.
Lebih lanjut, frasa “saling berhubungan” sangat luas dan dapat menjadi rancu apabila tidak diatur dengan jelas oleh otoritas pajak. Dengan demikian, otoritas pajak telah mengatur batas hubungan istimewa ini dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan aturan turunannya.
Secara singkat, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi ketika timbul ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan oleh kepemilikan, penyertaan modal, penguasaan melalui manajemen, atau penggunaan teknologi. Selain itu, hubungan istimewa juga dapat terjadi karena adanya hubungan darah atau perkawinan.
Apa itu Hubungan Istimewa?
Dalam perpajakan Indonesia, kriteria terjadinya hubungan istimewa diatur dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dianggap ada apabila salah satu saja kriteria di bawah ini terpenuhi:a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung;
Penguasaan yang dimaksud, lebih lanjut diatur dalam Pasal 4 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 22/PMK.03/2020. Hubungan istimewa karena penguasaan dianggap ada apabila:
- Satu pihak menguasai pihak lain atau satu pihak dikuasai oleh pihak lain, secara langsung dan/atau tidak langsung;
- Dua pihak atau lebih berada di bawah penguasaan pihak yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung;
- Terdapat orang yang sama secara langsung dan/atau tidak langsung terlibat atau berpartisipasi di dalam pengambilan keputusan manajerial atau operasional pada dua pihak atau lebih;
- Para pihak yang secara komersial atau finansial diketahui atau menyatakan diri berada dalam satu grup usaha yang sama; atau
- Satu pihak menyatakan diri memiliki hubungan istimewa dengan pihak lain.
c. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Yang dimaksud dengan “hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat” adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan “hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat” adalah kakak dan adik. Lebih lanjut, yang dimaksud dengan “keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat” adalah mertua dan anak tiri, sedangkan “hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat” adalah ipar.
Kapan Perusahaan Harus Membuat Dokumen Transfer Pricing?
Wajib Pajak yang memiliki transaksi hubungan istimewa harus mampu membuktikan kewajaran transaksinya. Pembuktian tersebut dilakukan dengan menyusun dokumen transfer pricing. Dasar hukum mengenai dokumen transfer pricing dan tata cara pengelolaannya diatur di antaranya melalui PMK Nomor 213/PMK.03/2016 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 stdd Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011.Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) PMK Nomor 213/PMK.03/2016, dokumen penentuan harga transfer terdiri atas:
- Dokumen induk atau master file (MF);
- Dokumen lokal atau local file (LF); dan/atau
- Laporan per negara atau Country by Country Report (CbCR).
Namun, tidak semua perusahaan yang memiliki hubungan istimewa diharuskan menyusun ketiga dokumen tersebut. Kriteria penentuan kewajiban pemenuhan penyusunan dokumen transfer pricing bagi Wajib Pajak diatur dalam Pasal 2 ayat (2)-(4) PMK Nomor 213/PMK.03/2016 berturut-turut sebagai berikut:
1. Kewajiban Menyusun MF dan LF
Wajib Pajak harus membuat dokumen transfer pricing berupa dokumen induk atau master file (MF) dan dokumen lokal atau local file (LF) ketika Wajib Pajak melakukan transaksi afiliasi dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Nilai peredaran bruto tahun pajak sebelumnya dalam satu tahun pajak lebih dari Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);
b. Nilai transaksi afiliasi tahun pajak sebelumnya dalam satu tahun pajak:
- Lebih dari Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) untuk transaksi barang berwujud; atau
- Lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk masing-masing penyediaan jasa, pembayaran bunga, pemanfaatan barang tidak berwujud, atau transaksi afiliasi lainnya; atau
c. Pihak afiliasi yang berada di negara atau yurisdiksi dengan tarif pajak penghasilan lebih rendah daripada tarif pajak penghasilan Indonesia
2. Kewajiban Menyusun CbCR
Wajib Pajak harus membuat dokumen transfer pricing berupa laporan per negara atau Country by Country Report (CbCR) ketika Wajib Pajak yang merupakan entitas indukdari suatu grup usaha memiliki peredaran bruto konsolidasi pada tahun pajak bersangkutan paling sedikit Rp11.000.000.000.000,00 (sebelas triliun rupiah).
3. Kewajiban Menyusun CbCR bagi Anggota Grup Asing
Bagi Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan anggota grup usaha dengan entitas induk dari grup usaha merupakan subjek pajak luar negeri, wajib menyampaikan laporan per negara atau Country by Country Report (CbCR) sepanjang negara atau yurisdiksi tempat entitas induk berdomisili:
- Tidak mewajibkan penyampaian laporan per negara;
- Tidak memiliki perjanjian dengan pemerintah Indonesia mengenai pertukaran informasi perpajakan; atau
- Memiliki perjanjian dengan pemerintah Indonesia mengenai pertukaran informasi perpajakan, namun laporan per negara tidak dapat diperoleh pemerintah Indonesia dari negara atau yurisdiksi tersebut.
Perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan untuk menyelenggarakan dan menyimpan dokumen di atas, tetap diwajibkan untuk menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU) dalam transaksi afiliasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Referensi:
[1] Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021
[2] Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2020
[3] Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2016
[4] Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011
[5] Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010