Ditjen Pajak (DJP) memperbarui aplikasi M-Pajak dengan menambah 5 fitur baru. Sebanyak 2 fitur di antaranya untuk wajib pajak UMKM. Pembaruan aplikasi M-Pajak tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (21/1/2022).
Adapun 2 fitur baru untuk wajib pajak UMKM adalah pencatatan UMKM dan Surat Keterangan Peraturan Pemerintah (PP) 23/2018. Saat ini, pembaruan M-Pajak baru tersedia untuk versi Android yang diunduh melalui Play Store.
“Yuk! Segera update aplikasinya agar bisa memanfaatkan fitur-fitur baru yang sudah dirilis,” tulis Ditjen Pajak (DJP) melalui akun Twitter @DitjenPajakRI.
Selain pencatatan UMKM dan Surat Keterangan PP 23/2018, 3 fitur baru yang juga sudah disediakan otoritas pajak adalah Info Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP), Surat Keterangan Fiskal (SKF) dan daftar unduhan.
Selain mengenai fitur baru dalam aplikasi M-Pajak, ada pula bahasan terkait dengan program pengungkapan sukarela. Selain itu, ada bahasan tentang dirilisnya edisi terbaru pedoman transfer pricing untuk korporasi multinasional dan administrasi pajak oleh OECD.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Pencatatan Omzet
Kementerian Keuangan menyatakan fitur pencatatan omzet disediakan untuk memudahkan wajib pajak UMKM dalam membayar pajak penghasilan (PPh) final sesuai dengan peredaran bruto atau omzet yang diperolehnya.
“Fitur yang diharapkan meningkatkan kepatuhan wajib pajak UMKM adalah menu pencatatan omzet harian sehingga lebih memudahkan untuk mengetahui nilai omzet bulanan,” tulis Kementerian Keuangan pada laporan APBN KiTa.
Dengan fitur tersebut, wajib pajak dapat membuat kode billing pada bulan berikutnya sesuai dengan nilai rekapitulasi bulanan yang dilakukan sendiri oleh wajib pajak.
Data pelaporan dan pembayaran pajak juga akan diolah menjadi data yang siap saji dan membantu wajib pajak dalam menyusun SPT Tahunan. Selain itu, data tersebut akan tersaji secara otomatis pada DJP Online atau aplikasi M-Pajak.
Omzet Tidak Kena Pajak
Ketentuan batas omzet tidak kena pajak senilai Rp500 juta disiapkan menjadi skema penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Ketentuan ini berlaku bagi wajib pajak orang pribadi UMKM yang membayar PPh final PP 23/2018.
“Ini kita taruh supaya memastikan pajaknya tetap final sebesar 0,5% dari omzet, tapi omzet setahun dikurangi dulu Rp500 juta,” ujar Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara.
Suahasil mengatakan kebijakan ini diharapkan dapat membantu perusahaan kecil dan mikro bertumbuh. Bila berkembang menjadi usaha besar, wajib pajak harus menunaikan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan umum.
Harta Luar Negeri
PPS diharapkan bisa meningkatkan pelaporan harta wajib pajak yang selama ini disembunyikan di luar negeri. Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan dana wajib pajak di luar negeri yang belum dilaporkan kepada otoritas sesungguhnya masih terhitung cukup besar.
“PPS juga diharapkan dapat menjawab tantangan masih besarnya dana wajib pajak di luar negeri yang belum dilaporkan baik pada masa sebelum maupun sesudah program pengampunan pajak,” ujar Suryo dalam kata sambutannya pada buku panduan PPS.
Panduan Transfer Pricing Terbaru
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis edisi terbaru pedoman transfer pricing untuk korporasi multinasional dan administrasi pajak.
OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations edisi 2022 resmi dipublikasikan pada Kamis (20/1/2022). Publikasi ini memberikan panduan mengenai penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle/ALP).
“Dalam perekonomian saat ini, perusahaan multinasional memainkan peran yang makin penting. Transfer pricing menjadi agenda utama otoritas dan wajib pajak,” tulis OECD dalam keterangan resminya.
Potensi Sengketa
Pengusaha mendorong pemerintah agar segera merilis aturan turunan dari UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Hingga hari ini, baru ada 1 aturan pelaksana yang diterbitkan pemerintah yakni PMK 196/2021 yang memerinci ketentuan PPS.
Komisi Tetap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Fiskal dan Perpajakan Siddhi Widyaprathama mengatakan aturan pelaksana diperlukan untuk mencegah potensi sengketa.
“UU-nya sudah berlaku, ada yang sejak diundangkan, ada yang tahun pajak 2022. Kalau belum ada pengaturan yang jelas ini kami khawatir berpotensi memicu sengketa di kemudian hari karena ada perbedaan interpretasi,”