84% Peserta Debat Setuju Pajak Karbon Diterapkan di Indonesia

Sebanyak 84% peserta debat setuju dengan adanya pengenaan pajak karbon di Indonesia.

Debat mengenai pajak karbon hingga Senin 11 Oktober 2021 pukul 15.00 WIB diikuti 69 peserta pemberi komentar dan 239 pengisi survei. Dari jumlah pemberi komentar tersebut, sebanyak 58 peserta atau 84% menyatakan setuju dengan adanya pengenaan pajak karbon.

menetapkan Donella Mirsha Pratama dan Amelia Lestari Putri sebagai pemenang debat periode 23 September – 11 Oktober 2021 yang mendapatkan hadiah uang tunai masing-masing Rp500.000. Sesuai dengan ketentuan yang sudah disampaikan sebelumnya, pemenang dipilih dari seluruh peserta yang memberikan komentar dan mengisi survei.

Donella mengaku setuju dengan pengenaan pajak karbon. Menurutnya, isu global mengenai eksternalitas negatif akibat emisi karbon memerlukan sebuah intervensi dari pemerintah. Pajak karbon menjadi komitmen nyata Indonesia.

Pengenaan pajak karbon juga sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Indonesia pada 2020-2024, Nationally Determined Contribution (NDC), dan Sustainable Development Goals (SDGs).

Donella mengatakan urgensi penerapan pajak karbon salah satunya diakibatkan kelemahan sistem perdagangan emisi (emission trading system/ETS) yang sulit mengukur kapasitas karbon yang telah dihasilkan oleh suatu negara.

Menurutnya, kebijakan ETS kurang efektif karena adanya pergeseran jatah karbon dan pengenaan penalti atas emisi yang melebihi threshold dapat disiasati dengan membeli jatah emisi karbon dari negara lain.

“Dengan pengenaan pigouvian tax sejak awal, para pihak secara tidak langsung dipaksa untuk switch ke energi yang ramah lingkungan. Disinsentif ini juga jauh lebih efektif dibandingkan memberikan reward/insentif kepada pihak-pihak yang berhasil mengurangi emisi karbon,” katanya.

Donella mengatakan penerimaan negara yang diperoleh dari pajak karbon sendiri dapat digunakan untuk earmarking atas domino effect yang dihasilkan. Beberapa peserta debat juga menyoroti penggunaan penerimaan dari kebijakan pajak karbon ini.

Sementara itu, Amelia Lestari Putri menyatakan kurang setuju dengan adanya pengenaan pajak karbon untuk saat ini. Dengan pengenaan pajak pada produsen, akan ada 2 kemungkinan yang muncul.

Pertama, pembebanan pajak akan menambahkan harga pokok produksi. Hal ini berisiko meningkatkan harga jual produk yang dihasilkan. Kedua, subsidi dari pemerintah atas penggunaan produk tersebut dikarenakan produk (listrik) merupakan kebutuhan utama masyarakat.

Untuk kemungkinan pertama, akan memunculkan beban tambahan bagi masyarakat sebagai konsumen karena dikenakan harga yang lebih tinggi. Sementara untuk kemungkinan kedua, pemberian subsidi kurang efektif.

“Ini dikarenakan pemerintah kembali akan ikut menunjang pembebanan pajak yang dikenakan atas penggunaan produk tersebut. Terlebih lagi perekonomian Indonesia juga masih belum stabil dikarenakan akibat dari pandemi Covid-19 ini,” ujar Amelia.

Beberapa peserta debat memang menyoroti tambahan beban untuk produsen dan konsumen. Selain itu, ada pula yang menyatakan risiko carbon leakage karena pengenaan pajak karbon yang berbeda-beda di setiap negara.

Kendati demikian, pemerintah dan DPR telah menyepakati pengenaan pajak karbon dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pengenaan pajak karbon dikombinasikan dengan perdagangan karbon. Jika entitas tidak dapat membeli izin emisi (SIE) atau sertifikat penurunan emisi (SPE) atas emisi di atas batasan (cap) seluruhnya maka sisa emisi akan dikenakan pajak karbon.

Ada tahapan pengenaan pajak karbon. Pertama, pada 2021 dilakukan pengembangan mekanisme perdagangan karbon. Kedua, pada 2022—2024 diterapkan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi (cap and tax) untuk sektor pembangkit listrik terbatas pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

Ketiga, pada 2025 dan seterusnya dilaksanakan implementasi perdagangan karbon secara penuh dan perluasan sektor pemajakan pajak karbon dengan penahapan sesuai dengan kesiapan sektor terkait. Perluasan sektor tetap memperhatikan kondisi ekonomi, kesiapan pelaku, dampak, dan/atau skala. Penerapan pajak karbon mengutamakan pengaturan atas subjek pajak badan. Ketentuan pajak karbon akan dimulai pada 1 April 2020 dengan pengenaan pertama terhadap badan PLTU batu bara dengan tarif Rp30 per per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Simak, Ini Skema Pengenaan Pajak Karbon dalam UU HPP.

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Leave a Replay

Skip to content