Pengecualian dividen dari objek pajak penghasilan (PPh) berlaku sejak UU Cipta Kerja diundangkan, yakni 2 November 2020. Ketentuan tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (23/2/2021).
Dalam PP 9/2021 disebutkan pengecualian dividen atau penghasilan lain dari objek PPh – sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh yang telah diubah melalui penerbitan UU Cipta Kerja – berlaku untuk dividen atau penghasilan lain yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri.
“[Pengecualian] berlaku untuk dividen atau penghasilan lain yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak orang pribadi dan badan dalam negeri sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” bunyi penggalan Pasal 2A ayat (1) PP 94/20210 yang telah diubah lewat PP 9/2021.
Dividen yang dikecualikan dari objek PPh itu merupakan dividen yang dibagikan berdasarkan rapat umum pemegang saham atau dividen interim sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Rapat umum pemegang saham atau dividen interim itu termasuk rapat sejenis dan mekanisme pembagian dividen sejenis.
Adapun yang dimaksud dengan penghasilan lain merupakan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap (BUT) di luar negeri dan penghasilan aktif dari luar negeri tidak melalui BUT.
Selain mengenai PPh dividen, ada pula bahasan tentang laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang mencatat adanya kenaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) terkait dengan dugaan tindak pidana perpajakan sepanjang 2020.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
- Skema Penyetoran Sendiri
Sesuai dengan ketentuan pada Pasal 2A ayat (5) PP 94/20210 yang telah diubah lewat PP 9/2021, dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri atau wajib pajak badan dalam negeri, tidak dipotong PPh.
Jika wajib pajak orang pribadi dalam negeri tidak memenuhi ketentuan investasi, atas dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri terutang PPh pada saat dividen diterima atau diperoleh.
“Pajak penghasilan yang terutang … wajib disetor sendiri oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri,” demikian bunyi penggalan Pasal 2A ayat (7).
Sesuai dengan Pasal 2A ayat (8) PP 94/2010 yang telah diubah dengan PP 9/2021, ketentuan mengenai tata cara penyetoran sendiri oleh wajib pajak orang pribadi masih akan diatur lebih lanjut melalui peraturan menteri keuangan (PMK).
- Ketentuan Pengecualian PPh Dividen
Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh, untuk dividen dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan dalam negeri sudah langsung dikecualikan dari objek PPh. Namun, untuk dividen dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi, harus memenuhi syarat diinvestasikan di Indonesia dalam jangka waktu tertentu.
Adapun untuk dividen dan penghasilan setelah pajak dari BUT di luar negeri bisa dikecualikan dari objek PPh sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kebutuhan bisnis lainnya Indonesia dalam jangka waktu tertentu serta memenuhi salah satu persyaratan.
Persyaratan yang dimaksud adalah pertama, dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan paling sedikit 30% dari laba setelah pajak. Kedua, dividen berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek diinvestasikan di Indonesia sebelum dirjen pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas dividen tersebut.
- Pengajuan Restitusi
Ditjen Pajak (DJP) menyebut PPh atas dividen yang diterima wajib pajak dalam negeri yang terlanjur dipungut setelah berlakunya UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, bisa diajukan restitusi. Permohonan restitusi bisa diajukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam PMK 187/2015.
Pada masa transisi sejak UU Cipta Kerja berlaku dan sebelum diterbitkannya PMK yang memerinci ketentuan mengenai pengecualian dividen dari pengenaan PPh, DJP menetapkan dividen dalam negeri yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi tetap dipotong PPh sesuai dengan ketentuan.
Khusus untuk dividen dari dalam negeri yang diterima oleh wajib pajak badan dalam negeri, DJP menetapkan tidak ada pemotongan PPh. Kemudian, pemotong PPh pun tidak perlu memiliki surat keterangan bebas (SKB).
- Kenaikan LTKM Dugaan Pidana Perpajakan
PPATK mencatat ada1.602 LTKM yang terkait dengan dugaan tindak pidana perpajakan sepanjang 2020. Jumlah tersebut meningkat bila dibandingkan catatan pada 2019. LTKM terkait dengan dugaan tindak pidana perpajakan yang diterima PPATK pada 2019 mencapai 1.481 LTKM.
“Berdasarkan LTKM selama tahun 2020, diketahui sebanyak 38,4% LTKM saja yang mampu diidentifikasi oleh pihak pelapor terindikasi tindak pidana, dan selebihnya sebanyak 61,6% LTLM tidak terisi atau belum mengindikasikan tindak pidana,” tulis PPATK dalam Buletin Statistik Anti Pencucian Uang & Pencegahan Pendanaan Terorisme.
- Permintaan Data dan Informasi
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor mengatakan otoritas selalu melakukan permintaan data transaksi keuangan kepada PPATK untuk pelaksanaan proses pemeriksaan atau penyidikan pajak terhadap wajib pajak di Tanah Air.
Namun, DJP tidak hanya meminta data kepada PPATK. Pasalnya, permintaan data dan informasi secara rutin dilakukan terhadap 69 instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lainnya (ILAP). Selain itu, DJP juga menerima data keuangan dari perbankan.
- Konsinyasi
Pemerintah mulai memperjelas ketentuan mengenai perlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) atas penyerahan barang berwujud secara konsinyasi akibat diubahnya UU PPN melalui UU Cipta Kerja. Dalam PP 9/2021, pemerintah merevisi PP 1/2012 dan menyisipkan Pasal 17A.
Pasal 17A itu menyatakan penyerahan barang kena pajak (BKP) berwujud bagi consignor terjadi pada saat harga atas penyerahan BKP berwujud diakui sebagai piutang atau penghasilan ataupun ketika pengusaha kena pajak (PKP) consignor menerbitkan faktur pajak.
- Evaluasi Perda Pajak dan Retribusi Daerah
Pemerintah pusat melalui Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri memiliki kewenangan untuk mengevaluasi peraturan daerah (perda) pajak dan retribusi daerah hingga aturan pelaksanaanya.
Pada Pasal 18 PP 10/2021, kedua kementerian tersebut akan mengevaluasi perda pajak dan retribusi yang berpotensi bertentangan dengan kepentingan umum, bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, tidak sesuai dengan kebijakan fiskal nasional, atau menghambat ekosistem investasi dan kemudahan berusaha.
“Pengawasan … dilakukan berdasarkan laporan hasil pemantauan, laporan masyarakat, pemberitaan media, kunjungan lapangan, analisis perkembangan realisasi pajak dan retribusi, dan/atau sumber informasi lainnya,” bunyi Pasal 19 ayat (1) PP 10/2021.