Ditjen Pajak (DJP) mengingatkan masa berlaku penggunaan tarif pajak penghasilan (PPh) final sesuai dengan PP 23/2018. Topik tersebut menjadi bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (8/9/2020).
Melalui Pengumuman No. PENG-10/PJ.09/2020 yang diteken Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama, otoritas mengingatkan ketentuan masa maksimal penggunaan tarif PPh final 0,5% oleh wajib pajak badan sesuai dengan PP 23/2018.
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 5 PP 23/2018, pengenaan PPh final berlaku paling lama 3 tahun untuk wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas (PT). Jika terdaftar pada tahun pajak 2018, pengenaan PPh final berlaku hingga akhir tahun pajak 2020.
Kemudian, pengenaan PPh final berlaku paling lama 4 tahun bagi wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer (CV), atau firma. Jika terdaftar pada tahun pajak 2018, penggunaan tarif PPh final 0,5% berlaku hingga akhir tahun pajak 2021.
“Setelah berakhirnya jangka waktu …, wajib pajak dimaksud memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan umum Undang-Undang PPh untuk tahun pajak-tahun pajak berikutnya,” tulis DJP dalam pengumuman tersebut.
Sebagai informasi, jangka waktu pengenaan PPh final untuk wajib pajak orang pribadi paling lama 7 tahun sejak tahun pajak wajib pajak terdaftar (setelah berlakunya PP 23/2018) atau sejak tahun pajak 2018 (bagi wajib pajak yang terdaftar sebelum berlakunya PP 23/2018).
Selain mengenai jangka waktu pemanfaatan tarif PPh final 0,5%, masih ada pula bahasan terkait dengan perlakuan kelebihan pembayaran angsuran PPh Pasal 25 untuk masa pajak Juli 2020. Hal ini dikarenakan untuk masa pajak itu, insentif diskon dinaikkan dari 30% menjadi 50%.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
- Menyelenggarakan Pembukuan
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan wajib pajak berbentuk PT yang sudah memanfaatkan skema PPh final sejak 2018 harus mulai menggunakan tarif sesuai ketentuan umum mulai 2021.
“Wajib pajak badan berbentuk PT akan siap untuk melaksanakan kewajiban pajaknya sesuai ketentuan umum yang mensyaratkan pembukuan. Jadi periode 3 tahun wajib pajak badan PT memanfaatkan skema tarif PPh Final UMKM dirasa sudah cukup dan tidak ada kebijakan khusus terkait dengan hal tersebut,” kata Hestu. (DDTCNews)
- Pengurangan 50%
Meski sudah tidak dapat memanfaatkan skema PPh final, wajib pajak badan tersebut masih bisa menggunakan ketentuan Pasal 31E dari UU PPh. Dalam pasal ini, wajib pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto kurang dari Rp4,8 miliar bisa mendapat pengurangan tarif 50% dari ketentuan umum.
- Hanya Bersifat Penundaan
Untuk wajib pajak yang seharusnya mendapatkan diskon 50% tapi terlanjur menggunakan diskon 30% angsuran PPh Pasal 25 untuk masa pajak Juli 2020, atas kelebihan pembayaran pajaknya bisa dibiarkan saja tanpa ada langkah lanjutan.
Hal ini dikarenakan sifat angsuran ini hanya menunda. PPh terutang pada akhir tahun akan dihitung secara total dalam satu tahun pajak. Jika angsuran PPh Pasal 25 yang dibayar lebih besar maka PPh kurang bayar pada akhir tahun menjadi lebih kecil. Penerimaan Negara Minus 13,5%
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengungkapkan realisasi penerimaan negara hingga akhir Agustus 2020 senilai Rp1.028,02 triliun. Realisasi ini tercatat minus 13,5% dibandingkan dengan kinerja periode yang sama tahun lalu senilai Rp1.189,28 triliun.
Kinerja tersebut menunjukkan belum adanya pemulihan secara signifikan setelah terjadinya pandemi Covid-19. Realisasi tersebut juga masih jauh dari proyeksi pemerintah mengenai penerimaan negara hingga akhir tahun yang akan minus 10%. (Kontan)
- Resesi Ekonomi
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati semakin mewaspadai risiko resesi yang akan terjadi jika pertumbuhan ekonomi kuartal III/2020 kembali tercatat minus. Namun, menurutnya, ekonomi sudah menunjukkan perbaikan jika kontraksi pada pertumbuhan ekonomi III/2020 lebih kecil dibanding kuartal sebelumnya yang mencapai 5,32%.
“Kalau secara teknikal kuartal III ini kita di zona negatif maka resesi terjadi. Namun, tidak berarti kondisinya sangat buruk,” katanya. Simak artikel ‘Kapasitas Fiskal Daerah
Mayoritas pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, memiliki kapasitas fiskal daerah yang masih rendah.Hal ini terungkap dalam PMK 120/2020 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah (KFD).
Berdasarkan peta KFD dari 34 provinsi yang ada di Indonesia, 9 provinsi masuk kategori KFD sangat rendah, 8 provinsi masuk kategori KFD sedang, 5 provinsi masuk kategori KFD tinggi, dan hanya 4 provinsi yang masuk kategori KFD sangat tinggi.
Untuk peta KFD 508 kabupaten/kota, sebanyak 126 masuk kategori KFD sangat rendah, 128 KFD rendah, 126 KFD sedang, 91 KFD tinggi, dan 37 KFD sangat tinggi.