Pemerintah senantiasa memperhatikan Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan beragam fasilitas, termasuk stimulus fiskal. Pengaturan di bidang perpajakan bagi UMKM sangat penting, mengingat peran mereka dalam menggerakkan perekonomian Indonesia.
Menurut data Kementerian Koperasi dan UMKM, pelaku usaha yang kerap disebut sektor informal ini mampu menyerap 96,9% dari total tenaga kerja. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), per Februari 2024, total angkatan kerja mencapai 149,38 juta orang, dengan jumlah penduduk bekerja 142,18 juta jiwa.
Lain kata, sektor UMKM menawarkan solusi atas masalah pengangguran, bahkan menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan yang berani, tangguh, ulet, kreatif, serta adaptif terhadap perkembangan teknologi digital.
Selain itu -masih menurut Kementerian KUKM- tak hanya di pasar nasional, para pelaku UMKM juga meramaikan pasar global. Kontribusi mereka terhadap ekspor non-migas mencapai 15,6%. Keikutsertaan UMKM terhadap rantai pasok dunia (global supply chain) tercatat 4,1%.
Sumbangsih UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 60,5%. BPS mencatat bahwa PDB Indonesia tahun 2023 atas dasar harga berlaku mencapai Rp20.892 triliun, sehingga PDB per kapita menyentuh angka Rp75 juta. Artinya, dari total PDB tersebut, hampir Rp12.640 triliun disokong oleh UMKM.
Perhatian pajak pada sektor ini telah ada sejak 2013, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merilis Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 46/2013). Beleid ini merupakan inovasi segar yang memudahkan para pelaku UMKM membayar pajak.
Pertama, dari segi tarif, besarannya tidak memberatkan karena hanya 1% dari omzet atau peredaran bruto. Kedua, dari segi jenis, ia merupakan Pajak Penghasilan (PPh) Final. Artinya, telah tuntas kewajiban menghitung dan menyetorkannya. Para wajib pajak UMKM tidak perlu lagi memperhitungkan kredit pajak pada saat pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) PPh Tahunan kelak.
Dipandang memerlukan terobosan anyar, PP 46/2013 diperbarui dengan PP 23/2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu -pada era Presiden Joko Widodo. PP 23/2018 “memberi diskon” tarif PPh Final menjadi 0,5% saja.
Lain kata, ibarat pedagang bakso, ia cukup menyetor pajaknya satu mangkok tiap kali menjual 200 porsi. Angin segar pembaruan ketentuan perpajakan berhembus saat terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Sebagai pelaksanaan UU HPP tersebut, lahirlah PP 55/2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan. UU HPP dan PP 55/2022 ini “melindungi” wajib pajak orang pribadi pelaku UMKM, bahwa omzet sampai dengan Rp500 juta tidak dikenai PPh.
Namun, di sisi lain, PP 55/2022 juga mengatur batas waktu pemakaian tarif PPh Final 0,5% PP 23/2018 itu tadi. Pembatasan penggunaan tarif tersebut tujuh tahun untuk orang pribadi; empat tahun untuk badan berbentuk koperasi, CV, firma, badan usaha milik desa, dan perseroan perorangan; serta tiga tahun untuk badan berbentuk perseroan terbatas.
Hal ini tentunya perlu kita pahami setidaknya dengan dua alasan. Pertama, tingkat kontribusi pajak UMKM. Dengan sumbangsih kepada PDB yang sedemikian besar, serta tarif yang hanya 0,5%, tentu tingkat partisipasi pembayaran pajak pelaku UMKM memiliki ruang yang luas untuk dapat ditingkatkan.
Kedua, demi mendorong UMKM naik kelas. Usai memanfaatkan tarif final 0,5%, UMKM dapat mengambil dua pilihan, yakni menyelenggarakan pembukuan atau melakukan pencatatan dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN), sesuai ketentuan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa akuntansi merupakan aspek yang perlu ditingkatkan oleh pelaku UMKM. Lagipula, sudah menjadi permasalahan klasik bahwa banyak pelaku UMKM yang belum layak memperoleh kredit perbankan lantaran kondisi pelaporan keuangan yang belum memadai.
Padahal, akses terhadap suntikan modal merupakan salah satu cara untuk ekspansi bisnis mereka. Oleh karena itu, mereka diberikan kesempatan untuk antisipasi dan
meningkatkan kompetensi tata buku selama periode penggunaan tarif final 0,5%.
Program Pendampingan
Agar para pelaku UMKM naik kelas, baik dari segi kemampuan hard skills, soft skills, maupun dari dimensi pengetahuan perpajakan, ada tanggung jawab Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai salah satu pemangku kepentingan dalam mendampingi mereka.
Sejalan dengan hasil penelitian di Nigeria oleh Aladejebi (2018), para pelaku UMKM membutuhkan edukasi perpajakan agar lebih taat pajak. Kabar baiknya, DJP telah mewadahi pendampingan UMKM melalui program Business Development Services (BDS).
Para UMKM binaan dibekali keterampilan dan pengetahuan dalam memanfaatkan teknologi informasi dan media sosial guna memasarkan produk mereka. Mereka juga dapat mengakses edukasi perpajakan karena tenaga penyuluh pajak tersedia.
Di luar BDS, ruang konsultasi dan sosialisasi melalui kelas pajak senantiasa tersedia di tiap-tiap kantor pelayanan pajak. Program pendampingan edukasi perpajakan terhadap sektor UMKM ini diharapkan dapat mengerek kesadaran dan kontribusi pajak mereka. Dengan demikian, mereka layak disebut naik kelas.