RUU HPP Disahkan Simak Poin-poin Pentingnya

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bakal mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna hari ini, Kamis (7/10/2021).
RUU yang sebelumnya bernama RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) ini mengatur sejumlah aturan baru perpajakan sebagai salah satu cara pemerintah mereformasi sistem perpajakan. Beberapa aturan tersebut meliputi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi (OP), PPh Badan, pengampunan pajak (tax amnesty), hingga penghapusan tarif pajak minimum untuk perusahaan merugi. Adapun beberapa aturan pajak terbaru tersebut sebagai berikut:

1. PPN

Melalui RUU HPP, pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) umum dari 10 persen menjadi 11%. Tarif pajak 11%  ini mulai berlaku pada 1 April tahun depan.

Kemudian, pemerintah akan menaikkan kembali tarif PPN sebesar 12% pada tahun 2025. Di sisi lain, pembuat kebijakan mulai menerapkan sistem multi tarif PPN dengan rentang sekitar 5% – 15%. Pemerintah juga membebaskan tarif PPN atas beberapa barang dan jasa. Tarif PPN sebesar 0% akan diterapkan atas ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang kena pajak tidak berwujud, dan ekspor jasa kena pajak. Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menyebut sembako yang sering dikonsumsi masyarakat bisa dipajaki lebih rendah atau bahkan tidak dikenakan pajak sama sekali. Sementara dalam jasa pendidikan, pengenaan PPN ditujukan untuk pendidikan yang bersifat komersial dari lembaga pendidikan yang tidak menyelenggarakan kurikulum minimal sesuai syarat UU Pendidikan Nasional. Adapun di jasa kesehatan, pengenaan PPN ditujukan untuk jasa kesehatan yang tidak dibayar melalui sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Jasa kesehatan yang tidak dibayar oleh JKN biasanya bersifat non-esensial, seperti klinik kecantikan dan klinik estetika, maupun jasa operasi plastik.

Kenaikan tarif PPN salah satunya disebabkan oleh pemungutan PPN yang dianggap tidak maksimal. Sri Mulyani bilang, Indonesia hanya bisa mengumpulkan 63,58 % dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut. Tarif PPN 10 %  lebih rendah dibanding tarif rata-rata dunia sebesar 15,4 %  Pengecualian barang atau jasa yang bebas PPN dianggap terlalu banyak, yakni 4 kelompok barang dan 17 kelompok jasa, sehingga terjadi distorsi dan ketimpangan kontribusi sektor usaha pada PDB dan PPN dalam negeri.

2. PPh OP

Orang tajir dengan penghasilan di atas Rp 5 miliar akan dikenakan tarif pajak penghasilan (PPh) sebesar 35 %. Dengan begitu, ada lapisan (bracket) baru pada PPh OP dari yang semula 4 bracket menjadi 5 bracket. Sebelumnya, tarif tertinggi untuk pajak penghasilan orang pribadi adalah 30 persen. Besaran tarif didasarkan pada penghasilan wajib pajak (WP) atau masyarakat. Lapisan pertama untuk penghasilan Rp 60 juta per bulan dikenakan tarif pajak sebesar 5 %

Lapisan kedua untuk penghasilan di kisaran Rp 60 juta – Rp 250 juta per bulan dikenakan tarif PPh OP sebesar Rp 15 persen. Lapisan ketiga untuk penghasilan di atas Rp 250 juta – Rp 500 juta per bulan maka dikenakan tarif 25 persen Pada lapisan selanjutnya, penghasilan di atas Rp 500 juta – Rp 5 miliar per bulan dikenakan pajak sebesar 30 %. Kemudian untuk lapisan baru atau lapisan kelima, pemerintah bakal mengenakan pajak 35 % untuk pendapatan Rp 5 miliar per bulan. Sri Mulyani menyatakan, tambahan lapisan ini salah satunya disebabkan oleh lapisan pajak orang pribadi di Indonesia lebih sedikit dibandingkan dengan negara lain. Vietnam dan Filipina misalnya, memiliki 7 lapisan. Sementara Thailand memiliki 8 lapisan dan Malaysia memiliki 11 lapisan. “Jumlah tax bracket di indonesia sekarang ini ada 4, ini mengakibatkan PPh orang pribadi di Indonesia jadi kurang progresif,” pungkas Sri Mulyani.

3. Tax Amnesty

Program pengampunan pajak (tax amnesty) bakal ada lagi mulai 1 Januari hingga 30 Juni 2022. Ketentuan tax amnesty ini tertuang pada pasal 6 ayat (1) draf final Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Tarif tebusan pengampunan pajak dalam pengungkapan harta bersih secara sukarela ini berbeda-beda. Berikut ini masing-masing besarannya: Tarif sebesar 6 % atas harta bersih yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau surat berharga negara. Tarif 8 % atas harta bersih yang berada di dalam wilayah NKRI dan tidak diiventasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI dan/atau Surat berharga negara. Tarif 6 % atas harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI yang dialihkan ke dalam wilayah NKRI, dan diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan didalam wilayah NKRI; dan/atau surat berharga negara. Tarif 8 % atas harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI yang dialihkan ke dalam wilayah NKRI; dan tidak diinvestasikan pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah NKRI; dan/atau surat berharga negara. Tarif sebesar 11 persen atas harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI dan tidak

dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


4. PPh badan

Tarif pajak penghasilan (PPh) untuk Wajib Pajak (WP) Badan tidak jadi menurun ke angka 20 persen pada tahun 2022. Sebaliknya, tarif pajak badan tetap 22 persen di tahun depan, sama seperti tarif pajak tahun ini. Namun tarif tersebut dapat diubah dengan Peraturan Pemerintah (PP) setelah disampaikan oleh pemerintah kepada DPR untuk dibahas dalam penyusunan RAPBN. Lebih lanjut, wajib pajak badan dalam negeri yang berbentuk PT, dengan jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada bursa efek paling sedikit 40 % dan memenuhi persyaratan tertentu dapat memperoleh tarif 3 % lebih rendah dari 22 %. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2020 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Berbentuk PT, tarif PPh badan tercantum 20 % pada tahun 2022. Aturan tersebut merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 yang berlaku sejak tanggal 19 Juni 2020. Baca juga: Apa Itu Pandora Papers yang Ungkap Skandal Pajak Orang Kaya Dunia?

5. Pajak Karbon

RUU HPP juga mengatur tarif pajak baru untuk karbon paling rendah Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Semula, Sri Mulyani mengusulkan tarif pajak karbon Rp 75 per kilogram CO2e. RUU menyebutkan, pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pengenaan pajaknya memperhatikan peta jalan pajak karbon dan peta jalan pasar karbon. Peta jalan pajak karbon sendiri terdiri dari strategi penurunan emisi karbon, sasaran sektor prioritas, keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan dan keselarasan antar berbagai kebijakan lain. Subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon atau melakukan aktifitas yang menghasilkan emisi karbon. Ketentuan mengenai tata cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, mekanisme pengenaan pajak karbon, dan tata cara pengurangan pajak karbon diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Sementara itu, ketentuan mengenai subjek pajak karbon dan alokasi penerimaan pajak dari

karbon untuk pengendalian perubahan iklim diatur berdasarkan PP.


6. Penghapusan AMT

Dalam RUU HPP, alternative minimum tax alias pajak minimum untuk perusahaan merugi sebesar 1 % dihapus. Sebelumnya, klausul baru ini tercantum dalam RUU KUP. Adanya usul tarif pajak minimum sebesar 1 % bermaksud untuk meminimalkan pengemplangan pajak perusahaan. Sebab, selalu ada tren peningkatan pelaporan perusahaan merugi yang berpotensi menjadi celah penghindaran pajak. Pemerintah mencatat, WP Badan yang melaporkan kerugian meningkat dari 8 % menjadi 12 % pada tahun 2019. WP Badan yang melaporkan kerugian selama 5 tahun berturut-turut meningkat dari 5.199 badan periode 2012-2016 menjadi 9.496 badan tahun 2015-2019. Namun, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor mengatakan, dihapusnya klausul tersebut sudah kesepakatan kedua belah pihak. Tujuan dihapusnya calon aturan baru tersebut dilakukan agar tidak memberatkan badan usaha.
“Pemerintah memutuskan untuk tidak menerapkan AMT agar tidak memberatkan Wajib Pajak, khususnya Wajib Pajak sektor UMKM dan Wajib Pajak yang memang benar-benar mengalami kerugian (bukan rugi artifisial),” kata Neilmaldrin. Tak hanya kesepakatan antar pemerintah dan DPR, penghapusan tarif pajak minimum sudah melalui proses pembahasan bersama seluruh stakeholder pemerintah. Pemerintah kata Neil, melakukan berbagai diskusi dan kajian bersama masyarakat yang dalam hal ini diwakili oleh asosiasi, LSM, pakar perpajakan, hingga praktisi pendidikan melalui berbagai kegiatan salah satunya adalah focus group discussion (FGD). Mengutip draf sebelumnya, PPh minimum untuk perusahaan merugi dikenakan dengan tarif 1 persen dari dasar pengenaan pajak berupa penghasilan bruto. Penghasilan tersebut sebelum dikurangi biaya terkait, tidak termasuk penghasilan yang dikenai pajak bersifat final dan penghasilan yang bukan objek pajak. Kendati demikian, besaran PPh minimum sebesar 1 persen itu masih bisa diubah dan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Leave a Replay

Skip to content