PPN Atas Penyerahan Konsinyasi vs Penyerahan Kepada Pedagang Perantara

Dalam rangka menciptakan kemudahan berusaha, pemerintah melalui Undang-Undang (UU) Cipta Kerja mencoret penyerahan barang secara konsinyasi dari daftar jenis transaksi yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Artinya, barang yang dititipkan (konsinyasi) tidak otomatis terutang PPN jika belum terjual. Kebijakan ini patut diapresiasi meskipun masih menyisakan tanda tanya, kenapa perlakuan yang sama tidak diterapkan atas penyerahan barang kepada pedagang perantara?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konsinyasi didefinisikan sebagai penitipan barang dagangan kepada agen atau orang untuk dijualkan dengan pembayaran kemudian; jual titip. Sementara itu, pedagang perantara dinyatakan dalam penjelasan Pasal 1A huruf c UU PPN sebagai orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan perjanjian atau perikatan atas dan untuk tanggungan orang lain dengan mendapat upah atau balas jasa tertentu, misalnya komisioner.  

Dari kedua definisi tersebut, pada dasarnya ada kesamaan sifat antara penjualan barang secara konsinyasi dengan penjualan barang kepada pedagang perantara. Dalam kedua jenis transaksi tersebut, kepemilikan atas barang baru berpindah tangan pada saat barang berhasil dijual atau telah dibeli oleh pembeli akhir. Ketika barang diserahkan oleh penjual kepada pedagang konsinyasi (consignee) atau kepada pedagang perantara (komisioner), pada dasarnya belum terjadi transaksi jual beli. Walaupun secara substansi hampir sama, Undang-Undang PPN membuat istilah terpisah antara penyerahan secara konsinyasi dengan penyerahan kepada pedagang perantara. 

Sebelum terbitnya UU Cipta Kerja, baik penyerahan barang kena pajak (BKP) secara konsinyasi maupun kepada pedagang perantara sama-sama terkena PPN. Artinya, PPN sudah terutang pada saat barang dititipkan kepada consignee atau kepada komisioner. Konsekuensinya, penjual harus membayar PPN ke kas negara sekalipun status barang belum terjual. Regulasi ini tentu saja tidak ramah bisnis, karena akan mengganggu cash flow pelaku usaha. Meskipun tersedia mekanisme retur untuk menghindari penyetoran PPN sebelum barang benar-benar terjual, namun mekanisme ini cukup merepotkan secara admistratif bagi pelaku usaha. 

Potensi Masalah

Harus diakui bahwa penghapusan penyerahan barang secara konsinyasi dari daftar transaksi yang terutang PPN melalui UU Cipta Kerja merupakan regulasi yang tepat. Sebab, PPN tidak terutang ketika barang belum benar-benar terjual. Dengan mekanisme yang baru ini, pelaku usaha yang melakukan titip jual barang kepada pihak lain tidak wajib menalangi PPN atas barang yang sejatinya belum berpindah kepemilikan. Wajib pajak juga tidak harus terbebani administrasi perpajakan yang ribet melalui penerbitan nota retur guna menghindari risiko membayar PPN di muka. Relaksasi ini sangat mendukung praktik perdagangan yang semakin marak menggunakan skema konsinyasi. Terlebih di era digital yang menumbuh-suburkan perdagangan melalui sistem elektronik atau e-commerce

Permasalahannya kemudian, kenapa penyerahan barang kepada pedagang perantara masih dinyatakan sebagai terutang PPN? Padahal, skema transaksi ini pada hakikatnya sama dengan konsinyasi, yakni belum terjadi penyerahan hak atas barang. 

Adanya dua pengaturan yang berbeda tersebut tentu saja berpotensi menimbulkan permasalahan implementasi di lapangan dan bisa memicu sengketa antara wajib pajak dengan fiskus.

Beda tafsir dalam mendefinisikan kedua jenis transaksi tersebut juga bisa menimbulkan masalah. Misalnya, wajib pajak menyatakan transaksinya merupakan penyerahan secara konsinyasi, sehingga tidak terutang PPN. Sementara, fiskus mungkin berpendapat transaksi tersebut merupakan penyerahan barang kepada pedagang perantara, sehingga sudah harus terutang PPN. Meskipun barang masih dimiliki oleh pihak principal, dengan dianggap sebagai penyerahan kepada pedagang perantara, transaksi tersebut dapat dianggap terutang PPN.

Leave a Replay

Skip to content