Sudah kita ketahui bahwa negara Indonesia memiliki Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2019 yang berfokus untuk mendorong investasi dan daya saing terhadap global. Hal ini termasuk pembangunan semua sektor potensial yang didukung dengan mobilisasi pendapatan yang secara realistis bertujuan untuk menjaga iklim dunia usaha tetap cerah dan juga kondusif.
Instrumen APBN yaitu belanja negara yang produktif akan diarahkan untuk mendorong peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), penguatan program perlindungan sosial, percepatan pembangunan infrastruktur, reformasi birokrasi, serta penguatan desentralisasi fiskal. Bahkan, untuk efisiensi serta inovasi, pembiayaan juga akan menjadi landasan dalam mencapai pertumbuhan (Nota Keuangan dan RABN 2019).
Normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS) dan intrik-intrik di dalamnya seperti Perang Dagang antara USA dan RRT menjadi salah satu dinamika perekonomian global yang patut pemerintah Indonesia waspadai. Pemerintah Indonesia pun sangat berhati-hati dan selalu merespon cepat serta efektif di dalam melindungi perekonomian dalam negeri agar selalu menggeliat dengan baik.
Sangat dimungkinkan bahwa ketidakstabilan ekonomi global ini pasti akan memengaruhi arus modal dan tingkat suku bunga. Terlebih faktor geopolitik di berbagai kawasan dan fluktuasi pergerakan harga minyak mentah dunia menjadi salah satu ancaman yang menjadi salah satu prioritas yang selalu dianalisis dampaknya.
Meningkatnya realisasi investasi Triwulan I Tahun 2019 sebesar 5,3% dengan nilai total Rp 195,1 triliun, dibanding dengan periode yang sama pada tahun 2018 yang sebesar RP 185,3 triliun, menunjukkan sentimen pasar yang cukup baik atas stabilitas yang dimiliki Indonesia. Walaupun itu semua tidaklah cukup (KOMINFO, April 2019).
Namun menjadi sangat skeptis, merupakan tindakan yang tidak diperlukan di saat peluang bertumbuhnya ekonomi itu ada. Terlebih ada sisi yang menarik untuk diketahui bahwa nilai capital inflow untuk kawasan Indonesia bagian timur tumbuh sebesar 16,7 % bila dibandingkan dengan Triwulan I Tahun 2018. Beberapa sektor penopang perekonomian seperti pengolahan hasil tambang yang sangat penting bagi ekspor pun menunjukkan sisi positifnya. Bahkan, sektor pariwisata sendiri terlihat berhasil dalam mendiversifikasi potensi sehingga beberapa investasi masuk mendorong produktivitas ekonomi di sekitarnya.
Pajak Dorong Konektivitas
Konektivitas adalah kunci, mengingat luasnya wilayah Indonesia yang bukan hanya terdiri dari daratan namun lautan, menyebabkan semakin besarnya tantangan untuk menciptakan pemerataan ekonomi. Sangat disayangkan jika bertahun-tahun Indonesia hanya memusatkan bisnis di pulau Jawa. Karena tidak menutup kemungkinan, wilayah luar pulau Jawa memiliki potensi unggulan yang sebenarnya dapat menjadi berlian baru yang menjadi keandalan Indonesia.
Menjawab tantangan tersebut maka akselerasi pembangunan infrastruktur di tahun 2019 akan diarahkan untuk pemerataan pembangunan dan pemanfaatan berbagai potensi ekonomi daerah di seluruh kawasan Indonesia. Pemerintah akan melanjutkan penyelesaian target pembangunan infrastruktur di berbagai daerah yang berupa jalan nasional baru, jalan tol, bendungan, serta jaringan irigasi. Pembangunan infrastruktur dan keberlanjutan reformasi kebijakan yang merupakan prioritas utama terus dilakukan untuk meningkatkan daya tarik.
Pembangunan infrastuktur yang merata di daerah terpencil maupun tertinggal sekali pun diharapkan dapat menciptakan multiplier effect yang besar terhadap perekonomian. Pembangunan infrastruktur hadir untuk menghubungkan berbagai potensi ekonomi daerah di seluruh kawasan Indonesia, memeratakan pembangunan, menumbuhkan kegiatan ekonomi baru, serta meningkatkan distribusi barang dan jasa, yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pengurangan kemiskinan dan pengangguran, serta ketimpangan.
Berbicara mengenai pembangunan infrastruktur, pastinya ada harga yang perlu dibayar. Pendapatan negara tahun 2019 direncanakan secara realistis dengan target sebesar Rp2.142.524,1 miliar, yang terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp1.780.995,9 miliar, penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp361.092,9 miliar, dan penerimaan hibah sebesar Rp435,3 miliar. Di luar itu, dalam mengalokasikan anggaran didukung pula pendanaan pihak swasta melalui berbagai skema pembiayaan infrastruktur yang dioptimalkan oleh Pemerintah, dengan menggunakan APBN sebagai katalis.
Pajak Ciptakan Pertumbuhan
Peran perpajakan tidak dapat diremehkan, karena sekitar 83 % APBN, kontribusi perpajakan menjadi penopang utamanya. Penerimaan pajak sendiri ditargetkan sebesar Rp1.577,6 triliun untuk membuat APBN hidup, tak terkecuali digunakan untuk pembangunan infrastruktur.
Peran pajak pun menjadi semakin luas jika melihat Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik merupakan dana transfer yang ditujukan untuk melakukan percepatan dan pemerataan penyediaan infrastruktur di daerah dalam memenuhi Standar Pelayanan Minimum (SPM) kepada masyarakat. Terutama, bukan hanya pemerintah dan masyarakat daerah yang diuntungkan atas tersedianya sarana umum penting. Namun, juga emiten sektor konstruksi yang diproyeksikan memiliki prospek kinerja keuangan yang terus membaik dalam jangka panjang.
Saham-saham emiten konstruksi seperti PT Waskita Karya Tbk (WSKT), PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), dan PT Pembangunan Perumahan Tbk (PTPP) menerima manfaat dari pengalokasian anggaran untuk pembangunan infrastruktur. Termasuk pula PT Adhi Karya Tbk (ADHI) yang mengalami pertumbuhan baik ke depan (Investor Daily. 21/05).
Tahun 2019, pemerintah mengalokasikan anggaran pembangunan infrastruktur sebesar Rp415 triliun. Angka ini naik sebesar 1% dari anggaran sebelumnya, atau bahkan naik 62% jika dibandingkan dengan tahun 2015.
Contohnya seperti Adhi Karya yang membukukan kenaikan laba bersih sebesar Rp 76 miliar pada kuartal I Tahun 2019 dengan persentase 3,1 % dari nilai laba sebelumnya di angka Rp73 miliar. PTPP pun membukukan kenaikan laba bersih sebesar Rp176 miliar pada periode yang sama, yaitu naik sebesar 12,5%. Pendapatan pun tumbuh sekitar 34,9% menjadi 5 triliun sejalan dengan kontrak baru yang didapatkan perseroan.
Laba bersih Wika pada kuartal I Tahun 2019 juga tumbuh mencapai 67% menjadi Rp286 miliar. Hal ini terdorong dengan prospek positif dari realisasi divestasi aset tol Surabaya – Mojokerto. Salah satu analis dari Danareksa Sekuritas pun memperkirakan rekomendasi saham yang menarik atas emiten sektor kontruksi tersebut.
Di balik tumbuhnya emiten konstruksi besar yang sudah go public tersebut, para pengusaha konstruksi lokal pun mendapatkan manfaat dari pengalokasian anggaran untuk infrastruktur daerah. Walaupun untuk tahun 2019 ini, rata-rata pembangunan fisik terhenti karena menunggu situasi Pilpres maupun Pileg kondusif lagi. Namun, dari semua kontribusi yang pajak berikan, menunjukkan bahwa produktivitas ekonomi dari para pengusaha konstruksi nasional maupun lokal dapat semakin bertumbuh lebih baik lagi.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
Oleh: Rifky Bagas Nugrahanto, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak