Simak Ketentuan Pajak Kripto Terbaru Mulai Tahun 2025

Transaksi aset kripto kini memiliki perhatian lebih besar pada regulasi perpajakan Indonesia. Hal ini sejalan dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024, yang menetapkan tentang ketentuan khusus terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) pada aktivitas perdagangan dan penghasilan yang diperoleh melalui transaksi aset kripto. Peraturan ini bertujuan untuk meningkatkan kepastian hukum dan penerimaan pajak dalam sektor ekonomi digital yang saat ini telah berkembang dengan pesat.

Pengenaan pajak atas transaksi aset kripto memiliki beberapa tujuan strategis diantaranya berupa meningkatkan kepastian hukum dengan memberikan kerangka hukum yang jelas bagi pelaku pasar aset digital, sehingga mengurangi risiko aktivitas ilegal, meningkatkan basis penerimaan pajak karena dengan tingginya volume transaksi aset kripto, sektor ini menjadi sumber potensial penerimaan negara, dan memperkuat pengawasan kebijakan dalam membantu pemerintah memantau aktivitas ekonomi digital yang sebelumnya sulit diawasi. 

Pengenaan Pajak atas Transaksi Aset Kripto

Aset kripto resmi ditetapkan sebagai objek pajak sejak diterbitkannya aturan ini. Pemungutan pajak ini diberlakukan atas transaksi aset kripto yang dilakukan melalui platform resmi yang telah terdaftar di Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) maupun yang tidak resmi.

Ketentuan ini dirancang untuk tujuan menyederhanakan administrasi perpajakan, mengingat tingginya volume transaksi aset kripto yang terjadi. Sepanjang Januari hingga September 2024, nilai transaksi aset kripto di Indonesia telah mencapai Rp426,69 triliun, telah meningkat drastis dari periode yang sama di tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan potensi besar dalam sektor ekonomi digital yang dapat dijadikan sebagai tambahan sumber pendapatan negara. 

Ketentuan Pengenaan Pajak pada Aset Kripto

PMK 81/2024 mengatur tentang dua jenis pajak utama yang dikenakan pada transaksi aset kripto, yaitu: 

1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

  • Tarif PPN atas transaksi aset kripto ditetapkan sebesar 1% dari nilai transaksi bruto jika dilakukan melalui pedagang fisik aset kripto terdaftar di Indonesia. 
  • Untuk transaksi yang dilakukan melalui platform yang tidak terdaftar, maka tarifnya menjadi lebih tinggi, yakni 2% dari nilai transaksi bruto.

2. Pajak Penghasilan (PPh)

  • Keuntungan yang diperoleh dari transaksi aset kripto dikenakan PPh Pasal 22 yang bersifat final sebesar 0,1% dari nilai transaksi bruto jika transaksi tersebut dilakukan pada platform resmi yang terdaftar. 
  • Untuk transaksi di luar platform resmi yang terdaftar, tarif PPh Pasal 22 bersifat final naik menjadi lebih tinggi sebesar 0,2% dari nilai transaksi bruto. 

Selain pajak atas perdagangan, aktivitas penambangan aset kripto juga dikenakan pajak. Penambang yang menjual aset hasil tambang ke pihak lain akan dikenakan PPh final berdasarkan tarif transaksi yang berlaku. Jika hasil tambang digunakan untuk transaksi pribadi, penambang tetap memiliki kewajiban melaporkan dan membayar pajak. 

Dampak dan Potensi Penerimaan Negara

Sejak mulai dikenakan pajak pada tahun 2022, penerimaan dari transaksi aset kripto telah mencapai angka kumulatif sebanyak Rp914,2 miliar hingga September 2024, dengan kontribusi sebesar Rp115,36 miliar hanya dalam tiga bulan terakhir. Penerimaan ini membuktikan bahwa sektor ekonomi digital khususnya transaksi aset kripto dapat menjadi salah satu sumber penerimaan pajak strategis bagi pemerintah, terutama dalam upaya memperkuat rasio pajak Indonesia. 

Dampak Kebijakan pada Pelaku Pasar

Kebijakan ini membawa sejumlah dampak bagi pelaku pasar, termasuk: 

  • Kenaikan Biaya Transaksi: Dengan adanya tambahan pajak PPN dan PPh, biaya transaksi aset kripto tentu akan menjadi lebih tinggi agar tidak merugi. 
  • Penyesuaian Administrasi: Pelaku pasar, termasuk individu dan perusahaan, harus memahami hak dan kewajibannya dalam pelaporan, penyetoran, dan pembayaran pajak. 
  • Persaingan Platform Lokal dan Global: Platform bursa kripto di Indonesia berpotensi lebih kompetitif karena diakui dan diawasi oleh pemerintah, namun ada risiko pengguna beralih ke platform internasional untuk menghindari pajak dan tentu dengan persaingan harga yang mungkin lebih murah di luar negeri.

Tantangan Implementasi

Tantangan disetiap implementasi peraturan akan tetap ada terutama dalam mengedukasi masyarakat terkait kewajiban pajak dan mengawasi transaksi yang dilakukan di luar platform resmi. Penegakan aturan pajak yang kuat dan sistem administrasi yang transparan menjadi kunci keberhasilan diberlakukannya kebijakan ini. Implementasi kebijakan ini juga tidak terlepas dari sejumlah tantangan berupa:

  • Sosialisasi yang Efektif: Banyaknya pelaku pasar aset kripto, terutama individu, mungkin belum memahami sepenuhnya kewajiban pajak mereka. Sehingga, pemerintah perlu memperkuat edukasi dan pendampingan kepada pelaku transaksi. 
  • Pengawasan yang Kompleks: Mengingat sifat aset kripto yang anonim dan lintas negara, tentu diperlukan teknologi dan sistem pengawasan yang canggih serta adanya kebijakan untuk dapat mengawasi kepatuhan pelaku. 
  • Kompetisi Global: Platform internasional yang tidak tunduk pada regulasi Indonesia juga bisa menjadi tantangan dalam pengawasan transaksi lintas negara. 

Dengan diberlakukannya PMK 81/2024, pemerintah tidak hanya memberikan kepastian hukum bagi pelaku transaksi aset kripto, tetapi juga memanfaatkan peluang ekonomi digital untuk mendukung peningkatan penerimaan negara. Optimalisasi penerapan aturan ini diharapkan dapat memperkuat fondasi perpajakan di era ekonomi digital sekaligus menjaga keseimbangan antara inovasi teknologi dan keadilan dalam sistem penerimaan pajak. 

Namun, kesuksesan kebijakan ini memerlukan dukungan dari semua pihak, mulai dari pemerintah, pelaku pasar, hingga masyarakat. Edukasi dan pengawasan menjadi kunci utama untuk memastikan implementasi yang efektif dan bermanfaat bagi perekonomian nasional.

Leave a Replay

Skip to content